TIDORE – Tim hukum pasangan calon (paslon) Wali Kota dan Wakil Wali Kota nomor urut 1, Muhammad Sinen dan Ahmad Laiman (MASI AMAN) angkat bicara menanggapi penggiringan opini seperti yang diberitakan salah satu media daring dengan judul ‘Kepala Desa Mare Gam Diancam Gelapkan Uang Masyarakat Mare Gam Kalau Tidak Dukung Pasangan Masih Aman’.
Berita yang diterbitkan pada 29 September 2024 kemarin itu ditanggapi oleh Muhammad Sanusi Taran.
Sanusi menyayangkan adanya pemberitaan tersebut. Apalagi hal itu dilakukan dengan membangun opini tanpa dasar dan bermaksud menyerang kehormatan dan martabat orang lain.
Semestinya, lanjut Sanusi, sebagai insan pers harus dapat menjadi bagian dari alat perjuangan untuk menyebarkan informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat secara proporsional, serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif.
“Bukan malah mengarah pada anarkisme pemberitaan dan euforia kebebasan pers yang sangat berlebihan,” kata M. Sanusi, Rabu (2/10).
Advokat ternama di Kota Tidore Kepulauan ini menjelaskan, dalam Undang–undang Pers, telah mengatur bahwa dalam memberitakan suatu peristiwa atau opini, Pers harus dapat sebisa mungkin menghormati norma–norma agama, dan rasa kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tak bersalah (Vide Pasal 5 Ayat 1). Pelanggaran atas ketentuan tersebut sudah barang tentu dapat dikenakan dengan tindak pidana pers yang diatur didalam Pasal 18 Ayat 2 ; Pers dalam mengemban tanggung jawab sosial semestinya dalam menerbitkan pemberitaan tuch harus terlebih dahulu dilakukan check and recheck.
Sehingga pemberitaan tersebut dapat mencerminkan prinsip–prinsip etika jurnalistik dan tidak harus merugikan orang lain. Dan dalam etika jurnalistik yang mengatur 11 Pasal tersebut sudah barang tentu dalam suatu pemberitaan hal yang paling utama ditekankan adalah soal cover both sides.
Sehingga dalam pemberitaan tidak boleh menyiarkan berita bohong dan berita yang dapat menimbulkan konflik antara individu, golongan, atau agama.
“Soal apakah persoalan ini bisa dibawah ke ranah hukum tentu sangat dibutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam melihat kasus–perkasusnya,” papar Sanusi.
Lebih jauh, Sanusi Taran menuturkan, jika harus melihat dari sudut pandang hukum pidana khususnya dalam KUHP, maka terdapat pertalian yang sangat erat antara pengaturan delik tindak pidana yang diatur dalam Undang–Undang Pers maupun KUHP.
Dan perlu diketahui bahwa tindak pidana yang diatur dalam Undang–Undang Pers merupakan suatu tindak pidana yang tersebar dalam beberapa pasal di KUHP, seperti misalkan tindak pidana yang menyangkut soal permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah, terhadap agama dan terhadap golongan (Pasal 154, 155, 156, 156a, dan 157 KUHP), Penyerangan/ pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang ( Pasal 310, 311, 315 dan 316 KUHP ), Pelanggaran ketertiban umum ( Pasal 519 bis, 533 dan 535 KUHP ), Penghasutan (Pasal 160 dan 161 KUHP).
Sehingga jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet), dan unsur kesalahan (schuld), yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana maka yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media.
Menurutnya, kita semua sepakat bahwa kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk dijaga dan dijamin secara hukum. Namun demikian pers sebagai bagian dari demokrasi harus memiliki profesionalisme dan tanggung jawab dalam melakukan tugasnya.
“Oleh karena itu hukum berada ditengah masyarakat guna untuk menciptakan keseimbangan antara demokrasi, kebebasan, dan tanggung jawab,” tandasnya. (Red).