IdentikNews
Opini  

Yellow Peril

Oleh:

Ardiansyah Fauji

Jubir AMAN Kota Tikep

 

“Makanya tadi saya sampaikan ke Kak Hamid, ke depan konsep Tidore ini seperti Jeddah dan Mekkah. Jadi kalau Mekkah itu tanah haram, maka Tidore ini harus dijadikan sebagai tanah haram seperti Mekkah. Kalau konsep mederenisasi itu di Oba, kalau mau membangun perabadan ya di Tidore, mau membangun mental mau membangun moral itu disini. Jadi ke depan Tidore itu kita jadikan dia sebagai pusat peradaban islam di Asia Tenggara dan itu ada di wilayah timur. Itu adalah cita-cita bahkan saya sudah memperlihatkan ke beberapa tokoh rencana kita membangun sebuah masjid besar namanya masjid Jazirah Al Mulk yang menjadi pusat peradaban islam Asia Tenggara termasuk museum Moloku Kie Raha yang menjadi sebuah konsep peradaban…..Jadi kalau mau kaco, mo keto dan lain lain di Oba. Mo kaco, mo keto dan lain lain jangan di Tidore pa, jangan di Tidore bu, di Oba. Disini ni negeri para aulia, negeri tarekat, disini negeri adab. Jangan kotori, kalau mau kotori, sana deng Sanger-Sanger di Oba sana (diiringi derai tawa yang mendengar).” Diambil dari petikan pidato; Samsul Rizal Hasdy.

Kiranya petikan langsung pernyataan Samsul Rizal ini menjadi penting sebagai pengingat bagi bung Hamdan (penulis Jargonisasi), ketika berusaha membenarkan konsep peradaban yang diurai oleh seorang yang mengklaim dirinya paling Soekarnois dalam sebuah pertemuan politik dengan sebagian warga kelurahan Mareku.

Dalam pemaparannya Samsul hendak membangun Tidore dengan konsep peradaban seperti Mekkah dan Jeddah, Tidore menjadi seperti tanah haram (suci) dan Oba sebagai tempat modernisasi (bukan tanah suci), seperti Jeddah kota paling kosmopolitan di Arab Saudi saat ini. namun modernisasi yang dimaksud Samsul seperti dikutip dalam petikan di atas, adalah tempat yang kacau, penuh kekerasan dan dihuni orang-orang kotor. Jauh sekali dengan gambaran Jeddah yang ia sebutkan diawal konsep peradaban tersebut.

Barangkali Samsul tidak paham sama sekali, Jeddah sejak dahulu adalah kota terbesar dan terpenting bagi Mekkah. Di masa khalifah Ustman bin Affan sekitar abad ke-7, Jeddah adalah gerbang utama memasuki tanah haram, baik untuk tujuan perdagangan maupun haji. Jeddah sendiri berarti ‘leluhur’ dalam bahasa Arab artinya ‘nenek’ merujuk pada wanita pertama yang Allah ciptakan Siti Hawa istri Nabi Adam AS yang dimakamkan di wilayah tersebut. Seluruh kesaksian para pelancong yang pernah berkunjung ke Jeddah, menggambarkan Jeddah sebagai kota dengan banyak hal baik, bahkan di era Ummayah dan Turki Ustmani, Jeddah menjadi kota paling berpengaruh dalam peradaban islam.

Karena itu modernisasi Oba seperti Jeddah dalam konotasi paling negatif yang disebutkan Samsul sungguh melukai dan menghina kami yang lahir dan besar di Oba. Pernyataan rasisme dan sangat diskriminatif ini membuat kami menangis, meminjam istilah Simon Critchley dalam Infinitely Demading, menangis adalah sebuah pengalaman ethis bahwa ada akidah-akidah normatif yang telah dilanggar baik secara sengaja maupun tak sengaja karena ada sesuatu yang keji telah terjadi.

Dugaan paling awal ketika mendengar ini, Samsul sedang berusaha memainkan politik SARA tanpa sadar, meskipun menurut seorang senior tak ada yang kebetulan dalam politik, seluruhnya by design.

Memang kalau kita cermati, Indonesia akhir-akhir sedang marak politik seperti ini. Ada semacam upaya-upaya propaganda, penyesatan opini, dan penggiringan pilihan politik atas dasar sentimen etnis, agama dan ideologi tanpa fakta. Isu SARA seringkali menjadi amunisi destruktif memasuki tahun-tahun politik dan ini menjadi tantangan besar bagi demokrasi elektoral Indonesia.

Politik SARA juga politik identitas sesungguhnya bisa muncul karena hadirnya kader-kader politik yang tidak berkualitas, ibaratnya para pemburu kekuasaan itu memilih potong Payahe dengan menumpangi isu-isu murahan demi mengancam politik pluralisme yang selama ini menjadi modal utama melewati transisi demokrasi pasca-Orde Baru.

Jika bung Hamdan seorang pembaca setia pikiran dan ajaran bung Karno, apalagi di tulisan sebelumnya sempat menyebut Cindy Adams, penulis otobiografi Bung Besar, pasti masih ingat dengan kisah Soekarno kecil dan sepak bola. Kisah yang menguatkan kebencian dan dendam pada rasisme kolonial.

Suatu hari, seorang Soekarno kecil ingin sekali bisa menembus masuk suatu perkumpulan sepak bola. Kala itu sepak bola tidak dimainkan oleh kaum bumi putera, anak-anak pribumi tak diperbolehkan memainkan permainan yang dianggap sebagai permainan kelas atas, hanya anak-anak eropa berkulit putih yang boleh memainkannya.

Tapi Bung Karno kecil kekeh mendobrak batas-batas itu, dan akhirnya keinginan Bung Kecil terpenuhi, ia sempat masuk perkumpulan bola dan bermain meskipun hanya beberapa menit bahkan waktu ia bermain lebih sedikit daripada waktu perundungan dan ejekan yang ia dapatkan.

Sepanjang permainan bung kecil diteriaki dengan kalimat-kalimat rasis yang mengerihkan, bruine…anak kulit cokelat goblok yang malang…bumiputera…inlander…anak kampung. Hampir setiap hari bung kecil mesti menghadapi orang-orang rasis itu dengan perkelahian, hampir setiap hari ia babak belur, walau begitu apapun keadaan Bung Kecil, pasti selalu salah.

Perilaku rasis dan perundungan baik verbal maupun fisik itu tidak hanya berhenti di dalam lapangan sepak bola, tapi terus berlanjut ke dalam sekolah ‘HBS’ Surabaya. Meski Bung Kecil belajar mati-matian, tekun siang malam nilainya tak akan lebih tinggi dari anak-anak Belanda. Jika anak-anak Belanda bisa mendapatkan nilai 10 bung kecil selalu berada dibatas nilai terkeci, enam.

Kisah ini kembali mesti dituliskan untuk menjadi pengingat kepada siapa saja yang menyebut dirinya seorang Soekarnois atau yang sangat paham ajaran-ajaran bung Karno. Tak akan mungkin dalam diri seorang Soekarnois tumbuh benih-benih diskriminatif juga rasisme.

Jadi sekali lagi, tak ada niat menyerang, memojokan atau mendelegitimasi siapapun, apalagi hendak mengecilkan pikiran dan ajaran-ajaran bung Karno yang sudah menjadi sebuah legacy untuk bangsa.

Rasisme hadir di nusantara seiring datangnya penjajah, pikiran merendahkan dan picik itu tumbuh subur dalam kepala para kolonial.

Dahulu di tempat-tempat tertentu di societeit dan kolam renang ada plang yang bertuliskan ‘Verboden voor honden en inlader’ yang artinya Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi.

Bahkan pernah ada pidato melegenda yang memantik kemarahan massa pribumi oleh insinyur Dessauvagie, dengan mengatakan; Inlander sama saja dengan 30 juta kerbau.

Pramoedya Anantar Toer kemudian menggambarkan rasisme ini dalam karya besarnya Tetralogi Pulau Buruh, lewat tokoh Minke bermakna monyet plesetan ejekan yang dilekatkan oleh guru dan teman-teman Eropa di sekolahnya.

Seorang hebat Soekarno saat ini, adalah teks sejarah sebagai pelajaran substansial yang bernilai tinggi dalam kehidupan berbangsa. Pikiran dan ajaran Soekarno mesti dipahami oleh setiap generasi penerus kepemimpinan bangsa.

Begitu banyak nilai sehingga bisa menjadi standar acuan dan mungkin akan sangat sulit dirampungkan hanya dalam satu catatan singkat seperti ini. Setidaknya kita bisa menyelami dua hal besar yang menjadi nilai perjuangan yang telah ditinggalkan oleh Bung Besar.

Yang pertama, Soekarno adalah sosok yang sangat menghargai perbedaan. Sejak kecil hidup dibawah bayang-bayang perilaku diskriminatif dan rasisme, jiwa pluralisme tumbuh dengan baik, dalam dirinya tertanam penghargaan terhadap perbedan yang hari ini ada dalam tubuh Indonesia.

Ia menolak dengan keras seluruh stereotipe juga pelabelan manusia lain dalam kasta-kasta. Semua orang memiliki hak yang sama guna mengelolah seluruh yang ada di tanah pertiwi, bukan sekadar suku dan agama, bahkan ideologi-ideologi berbeda pun harus mendapatkan tempat yang sama di negeri ini. Ia seorang moderat sekaligus demokratik sejati.

Ditengah banyak kritik ideologi yang menyerang Bung Karno, ia tetap sosok yang teguh sebagai seorang nasionalis. Nasionalisme yang tumbuh dari rasa cinta pada manusia dan kemanusiaan.

Sebagai seorang demokratik sejati, Soekarno pernah ditanya oleh seorang sarjana kedokteran lulusan Amsterdam, orang yang aktif dalam gerakan untuk kemerdekaan, ia anggota Budi Utomo.

Memasuki akhir masa pendudukan Jepang ia ditunjuk memimpin pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sejak april hingga 1 juni 1945.

Dialah Radjiman Wedyodiningrat, ia bertanya pada Bung Karno; Apa filsafat dasar republik yang akan lahir sebentar nanti? Dengan tegas Bung Besar menjawabnya; Pancasila.

Kita semua barangkali tak tahu pemikiran politik Radjiman yang sebenarnya, tapi situasi saat ia mengajukan pertanyaan itu bisa kita lacak dari catatan pengantarnya pada buku lahirnya Pancasila.

Radjiman menulis; Sidang PPKI diselenggarakan dibawah penilikan yang keras dari pemerintah bala tentara Jepang. Namun Bung Karno teguh. Dalam Pancasila yang dibentangkannya ada suatu demokratisch beginsel–prinsip demokrasi. “Fasisme Jepang berkuasa di negeri kita,” tulis Radjiman, tapi gagasan demokratis tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno.

Yang kedua, sosok Soekarno adalah seorang pejuang untuk pembebasan kemiskinan, pro-kepetingan rakyat miskin. Jiwa seperti itu merupakan ekspresi penyatuan hatinya dengan nasib yang dialami bangsanya saat itu.

Dialognya dengan seorang petani muda Marhaen yang kemudian menginspirasi ideologi perjuangannya dari zaman pergerakan melawan penjajah hingga Indonesia merdeka. Dalam otobiografinya Penyambung Lidah Rakyat, saat pertemuan dengan Marhaen, “Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen.” Kata Soekarno.

Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat-alat yang kecil, orang kecil dengan milik kecil, sekadar mencukupi dirinya sendiri. Marhaenis adalah ideologi perjuangan yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa.

Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek, tetapi sesungguhnya adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional, atau dengan bahasa lain, nasionalisme sejati.

Sebagai penutup, mari kita bedah sedikit petikan pertama dalam tulisan ini, apakah ucapan Samsul merupakan sebuah kalimat rasisme atau tidak?

“Jadi kalau mau kaco, mo keto dan lain lain di Oba. Mo kaco, mo keto dan lain lain jangan di Tidore pa, jangan di Tidore bu, di Oba. Disini ni negeri para aulia, negeri tarekat, disini negeri adab. Jangan kotori, kalau mau kotori, sana deng Sanger-Sanger di Oba sana.”

Pertama, Samsul telah memposisikan Oba sebagai tempat kotor dalam konsep peradaban menurutnya. Oba dianggap hina dina, masyarakat kelas kedua, tempat menampung manusia-manusia yang minim moral, karena itu yang suka membuat kekacauan, mabuk-mabukan silahkan ke Oba.

Kedua, Samsul telah membangun stereotipe, pelabelan negatif pada etnis/suku bangsa Sanger yang telah hidup di Oba sejak turun-temurun.

Ucapan yang cukup gegabah, tidak mencerminkan dia sebagai seorang intelektual apalagi sebagai seorang yang paham pikiran dan ajaran-ajaran Soekarno, mestinya malu menyebut diri dengan bangga sebagai seorang Soekarnois.

Sementara itu, makna dasar Rasisme ialah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang. Atau, rasisme sering diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok terpisah berdasarkan ciri biologis yang sering kita sebut bersama ‘ras’.

Gagasan ini menyakini ada hubungan sebab akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, kecerdasan, moralitas, dan ciri-ciri budaya dan perilaku lainnya, yang membuat beberapa ras lebih unggul daripada yang lain.

Rasis itu penyakit akut kolonial yang sulit disembuhkan. Menurut Sosiolog Roberto Robert, rasisme memberi jalan masuk bagi bangsa Eropa untuk menaklukan orang asli Indonesia.

Bangsa Eropa menaklukan Indonesia dengan menyerang dimensi paling mendasar dari eksistensi manusia. Sebutan merendahkan, bangsa kuli, menjadi startegi penjajah untuk mempermudah penguasaan ekonomi dan politik Indonesia.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Oba, lepas dari debat politik, tak ada niat sedikitpun untuk memojokan atau mendelegetimasi siapapun yang menganggumi pikiran dan ajaran-ajaran Bung Besar.

Niatnya hanya mendudukan kembali agar tak terjadi penyesatan opini, agar publik tak terkecoh dengan slogan-slogan maupun klaim-klaim individu. Karena sangat tidak mungkin seorang Soekarnois hidup dengan pikiran-pikiran rasial.

Sampai kapanpun, selama diskriminasi rasisme masih ada dalam kepala, selama itu pula kita akan tetap menjadi ‘yellow peril’ istilah rasis yang gunakan Jacques Novikow dalam esainya yang berjudul asli ‘Le Peril Jaune’ atau model minority bagi sebuah peradaban….Terimakasih. (*).